Minggu, 20 November 2016

Makalah Hukum Laut di Indonesia

HUKUM LAUT DI INDONESIA



Dibuat Oleh:
Nama : Muhammad Illham Friansyah
Kelas : 1IA15
Npm : 54416932

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA S1
(UNIVERSITAS GUNADARMA)
2016
Dalam Rangka Memenuhi Syarat Tugas dan Ujian Bidang Studi Pendidikan Kewarganegaraan
















FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA S1
(UNIVERSITAS GUNADARMA)
2016




                                
Tidak penting apa pun agama atau sukumu kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah bertanya apa agamamu
-Abdurrahman Wahid









KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, Sang Maha Pencipta dan Pengatur Alam Semesta, berkat Ridho-Nya penyusunan karya tulis ilmiah yang berjudul “Hukum Laut Nasional” yang Alhamdulillah selesai tepat pada waktunya.

Penyusunan karya tulis ilmiah ini dibuat untuk memenuhi syarat tugas dan ujian bidang studi Pendidikan Kewarganegaraan Teknik Informatika S1 Fakultas Teknologi Industri. Dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini penulis mendapat banyak bimbingan dan petunjuk dari berbagai pihak. Oleh karena itu , penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak/Ibu:

1. Drs. Jumharijinis Dosen Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
2. Bapak, Ibu dan adik dan keluarga tercinta yang selalu mendoakan dan mendukung saya sehingga karya tulis ilmiah ini selesai tepat pada waktunya
3. Teman-teman Jurusan Teknik Informatika S1 terima kasih atas perhatian dan segala masukannya.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan karya tulis ilmiah selanjutnya.
Akhir kata semoga karya tulis ilmiah ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua.






Jakarta, 30 Oktober 2016


Penyusun



DAFTAR ISI
Kata Mutiara...............................................i
Kata Penganta.............................................ii
Daftar Isi...............................................iii

Bab I. PENDAHULUAN...................................1
1.1    Penegasan Mengenai Judul..............................2
1.2    Alasan Pemilihan Judul................................2
1.3    Tujuan Research yang dilakukan........................2
1.4    Sistematika...........................................2

Bab II. ANALISIS LANDASAN TEORI............................3
2.1  Pengertian Zona Ekonomi Eklusif (ZEE).................3
2.2  Sejarah Perkembangan ZEE di Indonesia.................3
2.3     Hak Berdaulat, Kewajiban Yurisdiksi dan hak-hak lain di       ZEE.....................................................7
2.4  Pengertian Laut Teritorial.............................10
2.5  Menentukan Lebar Dan Garis Batas Laut Teritorial.......14

Bab III. ANALISIS DAN PENETAPAN METODE YANG DIGUNAKAN.......16
3.1  Sample Prosedur Sampling...............................16
3.2  Metode dan Prosedur Pengolahan Data....................17
3.3  Metode dan Prosedur Penganalisian Data.................18

Bab IV. PENGUMPULAN DAN PENYAJIAN DATA......................20
4.1  Uraian Secara Singkat..................................20

Bab V. KESIMPULAN DAN SARAN.................................21
5.1  Kesimpulan.............................................21
5.2  Saran..................................................22
Daftar Pustaka..............................................23






 Bab I
PENDAHULUAN
1.1 Penegasan Mengenai Judul
    Berdasarkan unclos 1982 indonesia merupakan Negara kepulauan. Indonesia memiliki laut yang luas yaitu lebih kurang 5,6 juta km2 dengan garis pantai sepanjang 81.000 km, dengan berbagai potensi sumber daya, terutama perikanan laut yang cukup besar.
Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas dan kurang terjaga sehingga mudah mendatangkan ancaman sengketa batas wilayah dengan negara tetangga. Untuk landas kontinen negara Indonesia berhak atas segala kekayaan alam yang terdapat di laut sampai dengan kedalaman 200 meter. Batas laut teritorial sejauh 12 mil dari garis dasar lurus dan perbatasan zona ekonomi ekslusif (ZEE) sejauh 200 mil dari garis dasar laut.
Hal tersebut tidak terlepas dari semakin meningkatnya aktifitas pelayaran di wilayah perairan Indonesia, khususnya di laut territorial. Peningkatan intensitas pelayaran, sebagian diantaranya kapal barang dan penangkap ikan, tidak menutup kemungkinan terjadinya kecelakaan laut. Selain itu Indonesia  masih banyak mengalami sengketa perbatasan dengan Negara tetangga .

    Untuk itu diperlukan peraturan yang baku mengenai hukum laut Indonesia khususnya di laut territorial yang sering dilalui oleh kapal asing dan banyak menimbulkan konflik yang berkepanjangan dengan negara tetangga. Kurang seriusnya pemerintah dalam meyelesaikan sengketa perbatasan mengenai laut territorial telah banyak menyebabkan lepasnya wilayah laut teritorial dari pangkuan Negara Indonesia. Selain itu kurangnya pengawasan terhadap laut teritorial di wilayah Indonesia telah banyak menyebabkan hilangnya kekayaan alam yang terkandung didalamnya terutama  potensi perikanan yang banyak dicuri nelayan asing.
Oleh karena itu diperlukan pemahaman mengenai laut teritorial sehingga pengelolaan dan pengawasan terhadap laut teritorial benar benar bejalan optimal.
1.2 Alasan Pemilihan Judul
Pengambilan materi ini sangatlah cocok dengan kondisi dan situasi yang berada di Indonesia dan di dunia saat ini. Indonesia masih banyak mengalami sengketa perbatasan dengan negara tetangga. Untuk itu diperlukan peraturan yang baku mengenai hukum laut Indonesia khususnya di laut teritorial yang sering dilalui oleh kapal asing dan banyak menimbulkan konflik yang berkepanjangan dengan negara tetangga
1.3 Tujuan Research yang dilakukan
Melalui makalah ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat luas pada umumnya dan pada penulis khususnya  mengenai laut  teritorial sehingga masyarakat dapat ikut secara bersama sama menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
1.4 Sistematika
Sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:
Bab I. PENDAHULUAN
1.1    Penegasan Mengenai Judul
1.2    Alasan Pemilihan Judul
1.3    Tujuan Research yang dilakukan
1.4    Sistematika

Bab II. ANALISIS LANDASAN TEORI
2.1  Pengertian Zona Ekonomi Eklusif (ZEE)
2.2  Sejarah Perkembangan ZEE di Indonesia
2.3     Hak Berdaulat, Kewajiban Yurisdiksi dan hak-hak lain di       ZEE
2.4  Pengertian Laut Teritorial
2.5  Menentukan Lebar Dan Garis Batas Laut Teritorial

Bab III. ANALISIS DAN PENETAPAN METODE YANG DIGUNAKAN
3.1  Sample Prosedur Sampling
3.2  Metode dan Prosedur Pengolahan Data
3.3  Metode dan Prosedur Penganalisian Data

Bab IV. PENGUMPULAN DAN PENYAJIAN DATA
4.1  Uraian Secara Singkat

Bab V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1  Kesimpulan
5.2  Saran





BAB II
ANALISA LANDASAN TEORI

2.1 Pengertian Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)

     Zona Ekonomi Eklusif (ZEE) adalah zona yang luasnya 200 mil dari garis dasar pantai, yang mana dalam zona tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak atas kekayaan alam di dalamnya, dan berhak menggunakan kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel dan pipa. Konsep dari ZEE muncul dari kebutuhan yang mendesak. Sementara akar sejarahnya berdasarkan pada kebutuhan yang berkembang semenjak tahun 1945 untuk memperluas batas jurisdiksi negara pantai atas lautnya, sumbernya mengacu pada persiapan untuk UNCLOS III.

     Berdasarkan undang-undang dasar Republlik Indonesia nomor 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia menyebutkan bahwa : “Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia”.
2.2 Sejarah Perkembangan ZEE di Indonesia
     Pada tanggal 28 September 1945 Presiden Amerika Seriakt “Harry S. Truman” telah mengeluarkan suatu proklamasi No. 2667, ‘Policy of the United States with respect to the Natural Resources of the Subsoil and Seabed of the Continental Shelf”.
     Dengan proklamasi Presiden Truman tahun 1945 di atas dimulailah suatu perkembangan dalam hukum Laut yakni pengertian geologi “continental shelf” atau daratan  kontinen. Tindakan Presiden Amerika serikat ini bertujuan mencadangkan kekayaan alam pada dasar laut dan tanah dibawahnya yang berbatasan dengan pantai Amerika Serikat untuk kepentingan rakyat dan bangsa Amerika Serikat, terutama kekayaan mineral khususnya minyak dan gas bumi. Hal tersebut sesuai dengan isi dari proklamasi tersebut yang pada pokoknya adalah : Sudah selayaknya tindakan demikian diambil oleh  negara pantai karena “continental shelf” dapat dianggap sebagai kelanjutan alamiah daripada wilayah daratan dan bagaimanapun juga usaha-usaha untuk mengelola kekayaan alam yang terdapat didalamnya memerlukan kerjasama dan perlindungan dari pantai. Dnagn demikian maka demi keamanan penguasaaan sember daya alam yang terdapat dari dalam continental shelf, seyogyanya kekuasaan untuk mengaturnya ada pada negara pantai yang berbatasan dengan daratan yang bersangkutan”.
     Tindakan sepihak Amerika Serikat mengenai landas Kontinen dan perikanan sebagaimana disebutkan di atas, berpengaruh terhadap perkembangan rezim hukum ZEE 200 mil tersebut. Hal ini terbukti bahwa negara-negara Amerika Latin dalam mengajukan tuntutan mereka telah mengemukakan beberapa argumentasi yang bertujuan untuk melindungi sumber-sumber kekayaan alam yang banyak terdapat diperairan sejauh 200 mil, termasuk dasar laut dan tanah di abwahnya. Argentina menagjukan teori “Epi Continental Sea”, kemudian Ekuador, Chili dan Peru mengemukakan teori “Bloma”, yang selanjutnya diikuti oleh negaranegara Amerika Latin lainnya, yakni Meksiko (1946), Honduras (1950), Costa Rica (1950), El Salvador (1950).
     Sebagai tindak lanjut dari tuntutan negara-negara Amerika Latin maka pada tahun 1952 lahirlah suatu deklarasi baru yakni “Deklarasi Santiago” yang ditandatangani oleh Negara-Negara : Chili, Ekuador dan Peru: sebagai motivasi utama tuntutan ketiga Negara peserta deklarasi Santiago ini adalah pelaksanaan jurisdiksi ekslusif terhadap sumber-sumber kekayaan alam (daya hayati maupun non hayati) yang terdapat diperairannya yang sejauh 200 mil laut. Sumber-sumber mana sangat bermanfaat bagi pelaksanaan pembangunan di  negara-negara peserta deklarasi tersebut.
     Selanjutnya Winston C.E. menjelaskan bahwa dalam lingkaran sejauh 200 mil itu hak-hak lintas damai (innocent passage) tidak terganggu (inoffensive) dan tetap diakui sebagaimana mestinya. Sehubungan dengan klaim beberapa negara mengenai ZEE 200 mil laut ini, PBB telah menyelenggarakan Konferensi Hukum Laut (UNCLOS) 1 tahun 1958 UNCLOS II tahun 1960 di Jenewa, terutama bertujuan untuk menetapkan lebar laut wilayah, namun usaha PBB tersebut ternyata gagal. Kegagalan ini mengakibatkan meluasnya praktek Negara-negara dalam mengklaim kedaulatan mereka di laut yang berbatasan dengan pantainya. Termasuk klaim yurisdiksi 200 mil. Klaim-klaim ini berkembang (meluas) sekitar tahun 1960-1970, terutama yang mengklaim jurisdiksi 200 mil dan tidak terbatas hanay pada Nnegara-negara Amerika Latin saja, melainkan juga meluas sampai pada negara-negara asia Afrika.
     Menurut Winston C.E., walaupun Negara-negara seperti Benin, Brazilia, Ekuador, Guinea, panama, Peru, Siera Leone dan Somalia tetap mengklaim jurisdiksi 200 mil laut sebagai laut wilayah,  negara-negara seperti: Argentina, Bangladesh, Chili, Costa Rica, El Salvador, Guatemala, Honduras, India, Iceland, Meksiko, Nicaragua, Uruguay dan Amerika serikat mengajukan klaim mereka yang sejalan dan selaras  dengan tuntunan yang telah diajukan oleh Negara-negara peserta deklarasi Santiago tahun 1952 (Chili, Ekuador, Peru). Perlu dijelaskan dalam studi ini bahwa dalam perkembangannya, delegasi Kenya secara resmi telah mengajukan usul  draft article yang mengatur tentang ZEE dalam persidangan Seabed Committee 18 Agustus 1972, yang selanjutnya dimasukkan dalam List of Subjects and Issues dan dibahas dalam UNCLOS III 1974.
     Ternyata diantara  negara - negara yang mengklaim yurisdiksi laut 200 mil tersebut mempunyai pendapat-pendapat yang berbeda tentang apa yang telah dideklarasikan sebelumnya. Hal ini terbukti dengan terjadinya perdebatan sengit diantara negara-negara peserta UNCLOS III, masing-masing negara dengan gigih mempertahankan kepentingannya yang menjadi latar belakang klaimnya itu. Perdebatan dimaksud merupakan bagian laut bebas, ataukah memiliki rezimhukum spesifik.
     Dalam hal ini  negara-negara maritim yang kuat, seperti Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris, Jepang dan Jerman Barat bersitegang dengan pendapatnya bahwa ZEE 200 mil harus merupakan laut bebas dengan ketentuan :
a. Negara-negara pantai diberi wewenang tertentu kekayaan alamnya.
b. Kebebasan lautan, termasuk kebebasan menggunakannya untuk kepentingan militer, tetap terjamin bagi semua bangsa.
     Sedangkan Negara-negara pantai terutama negara-negara yang tergabung dalam kelompok 77 dengan gigih pula tetap mempertahankan pendapatnya bahwa konsep ZEE merupakan suara konsepsi suigeneris yang memiliki rezim khusus mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban negaranya. Dengan demikian  negara-negara yang tergabung dalam kelompok 77 dengan tetap menentang dipertahankannya status laut bebas bagi ZEE, walaupun mengakui beberapa kebebasan dilaut lepas  dengan ketentuan bahwa hak-hak tersebut harus diperinci secara jelas dan tegas.
     Menurut Hasjim Djalal dalam bukunya “Perjuangan Indonesia dibidang Hukum Laut”. Meyatakan bahwa,  negara-negara tak berpantai (landlocked States) dan negar-negara secara geografis tidak beruntung (geographically disadvantaged States) menuntut hak-hak yang sama dengan  negara-negara pantai, tidak saja dibidang perikanan tetapi juga terhadap sumber-sumber kekayaan laut lainnya di dasar laut.
     Namun negara - negara pantai hanya bersedia memberikan surplus perikanan yang tidak dapat diambil oleh  negara-negara pantai, dalam hal ini negara-negara yang tergolong landlocked dan geographically disanvantage yang mendasarkan tuntutan mereka atas dasar prinsip “common heritage of mankind” yang mengklaim hak yang sama dengan negara-negara pantai untuk mengambil kekayaan alam di ZEE tersebut.  Sebagai ilustrasi disini, negara-negara tak berpantai dan secara geografis tidak beruntung misalnya Singapura, Nepal, dan Zambia, sedangkan ketiga lainnya yang termasuk dalam ketegori “distant”. Penyelesaian yang selalu menjadi tujuan  hukum pada akhirnya perbedaan dan pertentangan pendapat yang pada mulanya tegang itu, dengan jalan perundingan dan mufakat kemudian dapat dipertemukan, sehingga perjuangan mengenai rezim hukum ZEE 200 mil akhirnay dapat dirumuskan, kepentingan semua pihak dapat dapat ditampung tanpa saling merugikan. ZEE 200 mil  dengan demikian tidak dikualifikasikan sebagai laut bebas dan tidak pula sebagai laut wilayah, namun sebagai suatu rezim sul generis, yang diartikan ZEE mempunyai ketentuan hukum sendiri.
     Kemudian setelah mengalami amandemen-amandemen dalam  Informal Single Negotiating Text (INST) dan  Revised Singel Negotiating Text (RSNT), ketentuan-ketentuan mengenai ZEE 200 mil dimuat dalam pasal 55-75 Bab V Informal Composite Negotiating Text. (ICNT). Menlu RI  Mochtar Kusumaatmadja, dalam penjelasannya mengenai Pengumuman Pemerintah tentang ZEE Indonesia pada tanggal 21 Maret 1980, telah menegaskan bahwa walaupun ketentuan-ketentuan tentang ZEE dalam bab V ICNT ini belum berhasil diresmikan menjadi suatu konvensi Hukum Laut Internasional, dengan makin banyaknya negara-negara yang mengumumkan ZEE 200 mil, maka rezim  itu melalui proses pembentukan hukum kebiasaan internasional, dewasa ini telah menjadi Hukum Laut Internasional yang abru, Konvensi Hukum laut III ini telah ditandatangani di Montego Bay, Jamaika tanggal 10 Desember 1982.
2.3 Hak Berdaulat, Kewajiban Yurisdiksi dan hak-hak lain di       ZEE
     Hal ini di atur dalam Bab III pasal 4 UU no.5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang menyebutkan bahwa :
(1) Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Republik Indonesia mempunyai dan melaksanakan :
a.  Hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di atasnya dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi ekonomis zona tersebut, seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin;
b.  Yurisdiksi yang berhubungan dengan :
1. pembuatan dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan lainnya;
2.  penelitian ilmiah mengenai kelautan;
3.  perlindungan dan pelestarian lingkungan taut;
c. Hak-hak lain dan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan Konvensi Hukum Laut yang berlaku.
(2) Sepanjang yang bertalian dengan dasar laut dan tanah di bawahnya, hak berdaulat, hakhak lain, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilaksanakan menurut peraturan perundang - undangan Landas Kontinen Indonesia, persetujuan-persetujuan antara Republik Indonesia dengan negara-negara tetangga dan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang berlaku.
(3) Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, kebebasan pelayaran dan penerbangan    internasional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah laut diakui sesuai dengan prinsip-prinsip hukum laut internasional yang berlaku.
     Di Zona Ekonomi Eksklusif setiap  Negara pantai seperti Indonesia ini mempunyai hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan mengelola sumber daya alama baik hayati maupun nonhayati di perairannya, dasar hukum laut dan tanah dibawahnya serta untuk keperluan ekonomi di zona tersebut seperti produksi energi dari air, arus, dan angin.
     Hak berdaulat Indonesia yang dimaksud oleh undang-undang ini tidak sama atau tidak dapat disamakan dengan kedaulatan penuh yang dimiliki dan dilaksanakan oleh Indonesia atas laut wilayah, perairan Nusantara dan perairan pedalaman Indonesia. Berdasarkan hal tersebut diatas maka sanksi-sanksi yang diancam di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia berbeda dengan sanksi - sanksi yang diancam di perairan yang berada dibawah kedaulatan Republik Indonesia tersebut.
     Sedangkan jurisdiksi Indonesia di zona itu adalah jurisdiksi membuat dan menggunakan pulau buatan, instalasi, dan bangunan, riset ilmiah kelautan, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Dalam melaksanakan hak berdaulat dan jurisdiksinya di zona ekonomi eksklusif itu, Indonesia harus memperhatikan hak dan kewajiban Negara lain.Hal yang tidak kalah pentingnya adalah kewajiban menetapkan batas-batas zona ekonomi eksklusif Indonesia dengan negara tetangga berdasarkan perjanjian, pembuatan peta dan koordinat geografis serta menyampaikan salinannya ke Sekretaris Jenderal PBB.
     Hak dan kewajiban negara lain di zona ekonomi eksklusif diatur oleh Pasal 58 Konvensi Hukum Laut 1982, yaitu sebagai berikut:
1. Di zona ekonomi eksklusif, semua negara, baik negara berpantai atau tak berpantai, menikmati, dengan tunduk pada ketentuan yang relevan konvensi ini, kebebasan-kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan meletakkan kebel dan pipa bawah laut yang disebutkan dalam pasal 87 dan penggunaan laut yang berkaitan dengan pengoperasian kapal, pesawat udara, dan kebel serta pipa di bawah laut, dan sejalan dengan ketentuan-ketentuan lain konvensi ini.
2. Pasal 88 sampai pasal 115 dan ketentuan hukum internasional lain yang berlaku diterapkan bagi zona ekonomi eksklusif sepanjang tidak bertentangan dengan bab ini.
3.  Dalam melaksanakan hak-hak memenuhi kewajiban berdasarkan konvensi ini dizona ekonomi eksklusif, negara-negara harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban negara pantai dan harus mentaati peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh negara pantai sesuai dengan ketentuan konvensi ini dan peraturan hukum internasional sepanjang ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan bab ini.
     Di zona ekonomi eksklusif Indonesia, semua Negara baik Negara pantai maupun tidak berpantai mempunyai hak kebebasan pelayaran dan penerbangan, kebebasan memasang kabel dan pipa bawah laut dan penggunaan sah lainnya menurut hukum internasional dan Konvensi Hukum Laut 1982. Dalam melaksanakan hak-hak dan kebebasan tersebut, Negara lain harus menghormati peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai negara pantai yang mempunyai zona ekonomi eksklusif tersebut
     Negara pantai dapat menegakan peraturan perundang-undangannya sebagaimana di cantumkan dalam pasal 73 yaitu:
1.  Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif mengambil tindakan demikian, termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai dengan ketentuan konvensi ini.
2. Kapal-kapal yang ditangkap dan awaknya kapalnya harus segera dibebaskan setelah diberikan suatu uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainya.
3. Hukuman negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan di zona ekonomi eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada perjanjian sebaliknya antara negara-negara yang bersangkutan, atau setiap bentuk hukuman badan lainya.
4. Dalam hal penangkapan atau penahanan kapal asing negara pantai harus segera memberitahukan kepada negara bendera, melalui saluran yang tepat, mengenai tindakan yang diambil dan mengenai setiap hukuman yang kemudian dijatuhkan.
     Aparatur penegak hukum di bidang penyidikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut yang ditunjuk oleh Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Pengadilan yang berwenang mengadili pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini adalah pengadilan negeri yang  daerah hukumnya meliputi pelabuhan dimana dilakukan penahanan terhadap kapal dan/atau orang-orang.

2.4 Pengertian Laut Teritorial
    Konsep laut teritorial muncul karena kebutuhan untuk menumpas pembajakan dan untuk mempromosikan pelayaran dan perdagangan antar negara. Prinsip ini mengijinkan negara untuk memperluas yurisdiksinya melebihi batas wilayah pantainya untuk alasan keamanan. Secara konseptual, laut teritorial merupakan perluasan dari wilayah teritorial darat. Sejak Konferensi Den Haag 1930 kemudian Konferensi Hukum Laut 1958, negara - negara pantai mendukung rencana untuk konsep laut teritorial ditetapkan dalam doktrin hukum laut. Kemudian ketentuan laut teritorial dikodifikasikan dalam Konvensi Hukum Laut 1982 (LOCS). LOCS mengijikan negara pantai untuk menikmati yurisdiksi eksklusif atas tanah dan lapisan tanah dibawahnya sejauh 12 mil laut diukur dari garis dasar sepanjang pantai yang mengelilingi negara tersebut. Pengertian laut teritorial menurut hukum laut internasional maupun nasional adalah sebagai berikut :
1. Menurut UNCLOS
Garis - garis dasar (garis pangkal / baseline), yang lebarnya 12 mil laut diukur dari garis dasar laut teritorial didefinisikan sebgai laut wilayah yang terletak disisi luar dari garis pangkal.
Yang dimaksud dengan garis dasar disini adalah garis yang ditarik pada pantai pada waktu air laut surut . Negara pantai mempunyai kedaulatan atas Laut Teritorial, ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dimana dalam pelaksanaannya kedaulatan atas laut teritorial ini tunduk pada ketentuan hukum internasional.
2. Menurut UU no.6 tahun 1996
Laut teritorial adalah jalur laut selebar 12 mil yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana yang dimaksud pasal 5 UU No 6 Tahun 1996 yang berisi  sebagai berikut :
(1) Garis pangkal kepulauan Indonesia ditarik dengan menggunakan garis pangkal lurus kepulauan.
(2) Dalam hal garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat digunakan, maka digunakan garis pangkal biasa atau garis pangkal lurus.
(3) Garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah garis -garis lurus yang menghubungkan titik - titik terluar pada garis air rendah pulau - pulau dan karang -  karang kering terluar dari kepulauan Indonesia.
(4) Panjang garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga per seratus) dari jumlah keseluruhan garis - garis pangkal yang mengelilingi kepulauan Indonesia dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga suatu kepanjangan maksimum 125 (seratus dua puluh lima) mil laut.
(5) Garis pangkal lurus kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh ditarik dari dan ke elevasi surut, kecuali apabila di atasnya telah dibangun mercusuar atau instalasi serupa yang secara permanen berada di atas permukaan laut atau apabila elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau yang terdekat.
(6) Garis pangkal biasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah garis air rendah sepanjang pantai.
(7) Garis pangkal lurus sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis pantai yang menjorok jauh dan menikung ke daratan atau deretan pulau yang terdapat di dekat sepanjang pantai.
     Dalam laut teritorial berlaku hak lintas laut damai bagi kendaraan - kendaraan air asing. Kapal asing yang menyelenggarakan lintas laut damai di laut teritorial tidak boleh melakukan ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara pantai serta tidak boleh melakukan kegiatan survey atau penelitian, mengganggu sistem komunikasi, melakukan pencemaran dan melakukan kegiatan lain yang tidak ada hubungan langsung dengan lintas laut damai. Pelayaran lintas laut damai tersebut harus dilakukan secara terus menerus, langsung serta secepatnya, sedangkan berhenti dan membuang jangkar hanya dapat dilakukan bagi keperluan navigasi yang normal atau kerena keadaan memaksa atau dalam keadaan bahaya atau untuk tujuan memberikan bantuan pada orang, kapal atau pesawat udara yang berada dalam keadaan bahaya.
Terkait dengan pelaksanaan hak lintas damai bagi kapal asing tersebut, Negara pantai berhak membuat peraturan yang berkenaan dengan keselamatan pelayaran dan pengaturan lintas laut, perlindungan alat bantuan serta fasilitas navigasi, perlindungan kabel dan pipa bawah laut, konservasi kekayaan alam hayati, pencegahan terhadap pelanggaran atas peraturan perikanan, pelestarian lingkungan hidup dan pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran, penelitian ilmiah kelautan dan survei hidrografi dan pencegahan pelanggaran peraturan bea cukai, fiskal, imigrasi dan kesehatan.
Di laut teritorial kapal dari semua negara, baik negara berpantai ataupun tidak berpantai, dapat menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial, demikian dinyatakan dalam pasal 17 LOCS 1982. Dalam pasal 18 LOCS 1982, disebutkan pengertian lintas, berarti suatu navigasi melalui laut teritorial untuk keperluan :
1. Melintasi laut tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut atau fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman, atau ;
2. Berlalu ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut (roadstead) atau fasilitas pelabuhan tersebut.
Termasuk dalam pengertian lintas ini harus terus menerus, langsung serta secepat mungkin, dan mancakup juga berhenti dan buang jangkar, tetapi hanya sepanjang hal tersebut berkaitan dengan navigasi yang lajim atau perlu dilakukan karena force majure atau memberi pertolongan kepada orang lain, kapal atau pesawat udara yang dalam keadaan bahaya.
Selanjutnya dalam pasal 19 Konvensi menyatakan, bahwa lintas adalah damai, sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban atai keamanan negara pantai. Sedangkan lintas suatu kapal asing dianggap membahayakan kedamaian, ketertiban atau keamanan suatu Negara pantai, apabila kapal tersebut dalam melakukan navigasi di laut teritorial melakukan salah satu kegiatan sebagai berikut :
1. Setiap ancaman penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik negara pantai, atau dengan cara lain apapun yang merupakan pelanggaran atas hukum internasional sebagaimana tercantum dalam piagam PBB.
2. Setiap latihan atau praktek dengan senjata macam apapun.
3. Setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan infomasi yang merugikan bagi pertahanan atau keamanan negara pantai.
4. Peluncuran, pendaratan atau penerimaan pesawat udara di atas kapal.
5. Perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan dan keamanan negara pantai.
6. Bongkar atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang secara bertentangan dengan peraturan bea cukai dan imigrasi.
7. Perbuatan pencemaran laut yang disengaja.
8. Kegiatan perikanan.
9. Kegiatan riset.
10. Mengganggu sistem komunikasi.
11. Kegiatan yang berhubungan langsung dengan lintas.
Pasal 32 UNLOCS memberikan pengecualian bagi kapal perang atau kapal pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan non komersial. Pasal 29 LOCS memberikan definisi kapal perang yaitu suatu kapal yang dimiliki oleh angkatan bersenjata suatu Negara yang memamkai tanda luar yang menunjukkan ciri khusus kebangsaan kapal tersebut, di bawah komando seorang perwira, yang diangkat oleh pemerintah negaranya dan namanya terdaftar dinas militer yang tepat atau daftar yang serupa yang diawasi oleh awak kapal yang tunduk pada disiplin angkatan bersenjata reguler.
Negara pantai tidak boleh menghalangi lintas damai kapal asing melalui laut teritorialnya, kecuali dengan ketentuan konvensi atau perundang - undangan yang dibuat sesuai dengan ketentuan konvensi. Negara pantai juga tidak boleh menetapkan persyaratan atas kapal asing yang secara praktis berakibat penolakan atau pengurangan hak lintas damai. Lain dari pada itu negara pantai tidak boleh mengadakan diskriminasi formil atau diskriminasi nyata terhadap kapal Negara manapun.Untuk keselamatan pelayaran, negara pantai harus secepatnya mengumumkan bahaya apapun bagi navigasi dalam laut teritorialnya yang diketahuinya.
Selanjutnya Pasal 25 LOCS, mengenai hak perlindungan bagi keamanan Negaranya, Negara pantai dapat mengambil langkah yang diperlakukan untuk mencegah lintas yang tidak damai di laut teritorialnya. Negara pantai juga berhak untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran apapun terhadap persyaratan yang ditentukan bagi masuknya kapal ke perairan pedalaman atau ke persinggahan demikian.Tanpa diskriminasi formil atau diskriminasi nyata di antara kapal, negara pantai dapat menangguhkan sementara pada daerah tertentu di laut teritorialnya untuk perlindungan keamanannya termasuk keperluan latihan senjata.
2.5 Cara Menentukan Lebar Dan Garis Batas Laut Teritorial
Seperti yang diuraikan diatas bahwa penentuan laut territorial  suatu Negara pantai dilakukan dengan cara penarikan sejauh 12 mil dari garis pangkal terluar yang merupakan ttitik pasang surut terendah seperti yang diatur dalam pasal 5 unclos dan UU no.6 tahun 1996 pasal 5. Namun UNCLOS dan UU no.6 tahun 1996 memberikan pengecualian terhadap wilayah laut yang memiliki pantai yang saling berhadapan antar negara pantai.
1. Pasal 10 UU no.6 tahun 1996 menyebutkan bahwa :
(1) Dalam hal pantai Indonesia letaknya berhadapan atau berdampingan dengan negara lain,   kecuali ada persetujuan yang sebaliknya, garis batas laut teritorial antara Indonesia dengan negara tersebut adalahgaris tengah yang titik - titiknya sama jaraknya dari titik - titik terdekat pada garis pangkal dari mana lebar laut teritorial masing-masing negara diukur.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila terdapat alasan hak historis ataukeadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara kedua negaramenurut suatu cara yang berbeda dengan ketentuan tersebut.
2.  Pasal 83 UNCLOS, 1982 menetapkan bahwa penentuan batas landasan continental antar negara dengan pesisir yang berhadapan atau berdekatan akan dilaksanakan melalui perjanjian berdasarkan hukum internasional dengan tujuan untuk mencapai suatu penyelesaian yang pantas dan fair.
Berdasarkan peraturan diatas, dapat dinyatakan bahwa penentuan batas laut territorial antara negara pantai yang memiliki wilayah pantai dapat dilakukan melalui perundingan atau kesepakatan antar kedua belah pihak.

3.      Pengaturan Hukum Laut Indonesia
Secara nasional pengaturan mengenai hak lintas damai terdapat dalam:
1. UU No 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia
2. Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 1962 tentang Hak Lintas Damai kendaraan Air Asing.
3. UU No 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nation Convention of the Law of the Sea 1982.
4UU No 6 Tahun 1996 tentang Perairan
5. Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia
6. PP no.19 tahun 1999 tentang pengendalian dan atau perusakan laut
Namun melihat peraturan yang ada mengatur tentang laut teritorial di Indonesia masih banyak terdapat berbagai kekurangan diantaranya tidak adanya pengaturan batas laut Indonesia.
4. Pengaturan Hukum Laut Internasional Mengenai Laut Teritorial Dalam UNCLOS 1982
Dalam UNCLOS laut teritorial diatur dalam :
Bagian 1. Pendahuluan (pasal 1sampai 3)
Bagian 2. Batas Laut Teritorial
Bagian 3. Lintas damai di laut territorial
1. Sub bagian a.
Peraturan yang berlaku bagi semua kapal (pasal 17 sampai 26).
2. Sub bagian b.
Peraturan yang berlaku bagi kapal dagang dan kapal pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan komersial (pasal 27 sampai 28).
3. Sub bagian c.
Peraturan yang berlaku bagi kapal perang dan kapal pemerintah lainnya yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial (pasal 29 sampai 32).

Bab III
ANALISIS DAN PENETAPAN METODE YANG DIGUNAKAN
3.1    Sample Prosedur Sampling
1)  Teknik sampling secara probabilitas
Teknik sampling probabilitas atau random sampling merupakan teknik sampling yang dilakukan dengan memberikan peluang atau kesempatan kepada seluruh anggota populasi untuk menjadi  sampel. Dengan demikian sampel yang diperoleh diharapkan merupakan sampel yang representatif. Teknik sampling semacam ini dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
a) Teknik sampling secara rambang sederhana atau random sampling. Cara paling populer yang dipakai dalam proses penarikan sampel rambang sederhana adalah  dengan undian.
b) Teknik sampling secara sistematis (systematic sampling). Prosedur ini berupa penarikan sample dengan cara mengambil setiap kasus (nomor urut) yang kesekian dari daftar populasi.
c) Teknik sampling secara rambang proporsional (proporsional random sampling). Jika populasi terdiri dari subpopulasi-subpopulasi maka sample penelitian diambil dari setiap subpopulasi. Adapun cara peng-ambilannya  dapat dilakukan secara undian maupun sistematis.
d) Teknik sampling secara rambang bertingkat. Bila subpoplulasi-subpopulasi sifatnya bertingkat, cara pengambilan sampel sama seperti pada teknik sampling secara proportional.
e) Teknik sampling secara kluster (cluster sampling) Ada kalanya peneliti tidak tahu persis karakteristik populasi  yang ingin dijadikan subjek penelitian karena populasi tersebar di wilayah yang amat luas. Untuk itu peneliti hanya dapat menentukan sampel wilayah, berupa kelompok klaster yang ditentukan secara bertahap. Teknik pengambilan sample semacam ini disebut cluster sampling atau multi-stage sampling.

2) Teknik sampling secara nonprobabilitas.
Teknik sampling nonprobabilitas adalah teknik pengambilan sample yang ditemukan atau ditentukan sendiri oleh peneliti atau menurut pertimbangan pakar. Beberapa jenis atau cara penarikan sampel secara nonprobabilitas adalah sebagai berikut.

a) Purposive sampling   atau  judgmental sampling  Penarikan sampel secara purposif merupakan cara penarikan sample yang dilakukan memiih subjek berdasarkan kriteria spesifik yang dietapkan peneliti.
b) Snow-ball sampling (penarikan sample secara bola salju).
Penarikan sample pola ini dilakukan dengan menentukan sample pertama. Sampel berikutnya ditentukan berdasarkan informasi dari sample pertama, sample ketiga ditentukan berdasarkan informasi dari sample kedua, dan seterusnya sehingga jumlah sample semakin besar, seolah-olah terjadi efek bola salju.
c) Quota sampling (penarikan sample secara jatah). Teknik sampling ini dilakukan dengan atas dasar jumlah atau jatah yang telah ditentukan. Biasanya yang dijadikan sample penelitian adalah subjek yang mudah ditemui sehingga memudahkan pula proses pengumpulan data.
d) Accidental sampling  atau convenience sampling Dalam penelitian bisa saja terjadi diperolehnya sampel yang tidak direncanakan terlebih dahulu, melainkan secara kebetulan, yaitu unit atau subjek tersedia bagi peneliti saat pengumpulan data dilakukan. Proses diperolehnya sampel semacam ini disebut sebagai penarikan sampel secara kebetulan.

3.2    Metode dan Prosedur Pengolahan Data

Di dalam olah data baik secara manual maupun dengan komputerisasi terdiri dari tiga tahapan dasar yaitu input, proses, output. Dan tiga tahapan dasar tersebut dapat dikembangkan menjadi :
a. Orginating-Recording (Pencatatan) Tahapan ini berhubungan dengan proses pengumpulan data yang biasanya merupakan proses pencatatan (recording) data ke dokumen dasar atau formulir.
b. Classifiying (Klasifikasi) Tahapan ini memberikan identitas atau pengklasifikasian dalam data yang akan diolah, apakah identifikasi tersebut dilakukan untuk satu kelompok atau beberapa kelompok dari data yang nantinya merupakan karakteristik dari data yang bersangkutan
c. Sorting (Penyusunan) Setelah data–data yang akan diolah diberikan identifikasi seperti diatas, maka data tersebut mungkin perlu diatur atau disusun sedemikian rupa, contohnya urutkan menurut kode klasifikasinya
d. Calculating (Perhitungan) Disini data dimanipulasi seperti pelaksanaan perhitungan– perhitungan atau disebut Calculating
e. Summarizing (Penyusunan Laporan) Untuk memungkinkan dilakukan analisa terhadap data atau informasi yang dihasilkan, diperlukan penyimpulan atau pembuatan rekapitulasi laporan sesuai dengan keinginan pemakai informasi
f. Storing (Penyimpanan) Storing atau penyimpanan data dan informasi yang sejenis ke dalam file untuk referensi dimasa yang akan datang perlu dilakukan. Dan media penyimpanan ada beberapa macam, disesuaikan dengan metode dan peralatan yang dipakai dalam sistem pengolahan data, seperti disk, kartu, dokumen
g. Retrieving (Pencarian) Di dalam file yang disimpan, pencarian data atau retrieving biasa digunakan dengan cara penyimpanannya, terutama jika pengolahan datanya menggunakan komputer
h. Communicating (Komunikasi ) Dalam proses olah data menjadi informasi, sampai informasi tersebut dipakai oleh user. Diperlukan suatu komunikasi sehinnga mempermudah proses pengolahan data menjadi informasi
i. Reproducing (Penggandaan ) Untuk pengamanan apabila data hilang atau rusak, juga untuk keperluan perusahaan lainnya bisa dilakukan dengan penggandaan dengan menggunakan mesin photocopy, disk, magnetic tape

3.3    Metode dan Prosedur Penganalisaan Data
Analisa data secara umum di lakukan dengan cara menghubungkan apa yang di peroleh dari suatu proses kerja awal. hal ini di tujukan untuk memahami data yang terkumpul dari sumber, yang kemudian untuk di ketahui kerangka berfikir peneliti ( Bisri, 2004: 228).
Adapun metode analisis data yang di gunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. Analisis Reflektif
Metode analisa data yang berpedoman pada cara berfikir reflektif. Pada dasarnya metode ini adalah kombinasi yang kuat antara berfikir deduktif dan induktif atau dengan mendialogkan data teoritik dan data empirik secara bolak balik kritis ( STAIN, 2002: 16).
Dalam metode analisa ini peneliti akan memecahkan masalah dengan pengumpulan data-data dan informasi untuk di bandingkan kekurangan dan kelebihan dari setiap literatur atau alternatif tersebut. sehingga pada penyimpulan akan di peroleh data yang rasional dan ilmiah.
2. Content Analisis
Content analisis atau di sebut dengan analisis isi adalah suatu metode untuk memahami wacana atau problem dengan mencari inti dari wacana tersebut. Maka berkenaan dengan pengolahan dan analisis data, content analisis di artikan pula dengan analisis data deskriptif berdasarkan isinya.





























Bab IV
PENGUMPULAN DAN PENYAJIAN DATA

4.1    Uraian Secara Singkat
Negara Republik Indonesia yang merupakan negara kepulauan atau negara maritime dimana Segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau - pulau atau bagian pulau - pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memperhitungkan luas atau lebarnyamerupakan bagian integral dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia sehingga merupakan bagian dariperairan Indonesia yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia.
Dengan bepijat dari penjelasan - penjelasan secara panjang lebar diatas  maka sangatlah urgen memang untuk pemerintah menguatkan wilayah Indonesia demi menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian Undang - Undang  Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia yang berlaku secara hukum positif diharapkan mampu memberikan peranan penting dalam menguatkan wilayah Yuridiksi Indonesia sekarang dan dimasa yang akan datang.











BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Zona Ekonomi Eklusif (ZEE) adalah zona yang luasnya 200 mil dari garis dasar pantai, yang mana dalam zona tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak atas kekayaan alam di dalamnya, dan berhak menggunakan kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel dan pipa.

2. Pada tanggal 28 September 1945 Presiden Amerika Seriakt “Harry S. Truman” telah mengeluarkan suatu proklamasi No. 2667, ‘Policy of the United States with respect to the Natural Resources of the Subsoil and Seabed of the Continental Shelf”.

3. Laut teritorial menurut hukum laut internasional maupun nasional adalah sebagai berikut
  1. Menurut UNCLOS
Garis - garis dasar (garis pangkal / baseline), yang lebarnya 12 mil laut diukur dari garis dasar laut teritorial didefinisikan sebgai laut wilayah yang terletak disisi luar dari garis pangkal.
2. Menurut UU no.6 tahun 1996
Laut teritorial adalah jalur laut selebar 12 mil yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana yang dimaksud pasal 5.
  1. Dalam Laut Teritorial berlaku hak lintas laut damai bagi kendaraan-kendaraan air asing.
  2. Penentuan laut territorial  suatu negara pantai dilakukan dengan cara penarikan sejauh 12 mil dari garis pangkal terluar yang merupakan titik pasang surut terendah seperti yang diatur dalam pasal 5 unclos dan UU no.6 tahun 1996 pasal 5.
  3. Secara nasional pengaturan mengenai hak lintas damai terdapat dalam:
    1. UU No 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia
    2. Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 1962 tentang Hak Lintas Damai kendaraan Air Asing.
    3. UU No 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nation Convention of the Law of the Sea 1982.
    4. UU No 6 Tahun 1996 tentang Pelayaran.
    5. Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Asing dalam Melaksanakan Lintas Damai Melalui Perairan Indonesia.
    6. PP no.19 tahun 1999 tentang pengendalian dan atau perusakan laut.
    7. Pengaturan hukum laut internasional mengenai laut territorial dalam unclos 1982 mengenai laut territorial diatur dalam bab 1,2 dan3 yaitu mulai pasal 1 sampai dengan pasal 32.
5.2 Saran

Pemerintah harus benar - benar menjalankan aturan yang berlaku dan  melakukan pengawasan yang ketat serta jangan sampai lengah agar kesalahan Pulau Sipadan - Lingitan tidak terulang kembali demi keutuhan NKRI.















DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pertahan Keamanan. 1980. Masalah Wilayah Nasional dan Dasar  Laut. Pankorwilnas. Jakarta:
Drs. S. Sumarsono. MBA. etalle. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta:
Narzif,SH,MH. 2003. modul hukum laut Indonesia kusumaatmadja mochtar. 1978. hukum laut internasional. bina cipta. bandung:
N.H.T. Siahan S.H. dan H. Suhendi. S.H. 1998. Hukum Laut Nasional. Djambatan
P. Joko Subagyo. Hukum Laut Indonesia
Salim Emil. 1992. Pengaturan Hukum Lingkungan Laut Indonesia dan Implikasinya Secara Regional. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta:
UNCLOS 1982
UU No.6 Tahun 1996
UU No.17 Tahun 1985
http://annisawally0208.blogspot.co.id/2015/05/contoh-makalah-hukum-laut-tentang-zona.html
http://raju-law.blogspot.co.id/2014/06/makalah-hukum-laut.html
http://www.academia.edu/7454898/Makalah_hukum_laut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar